Kamis, 05 November 2015

Pelajaran berharga dari “Laskar Pelangi”


Tak banyak film Indonesia yang bisa begitu membekas di hati. Jika dulu ada Nagabonar dan kemudian geliat perfilman Indonesia mulai terasa diawali oleh Film Ada Apa dengan Cinta = AADC, maka pada penghujung tahun 2008 ini timbul fenomena baru dengan ditayangkannya film Laskar Pelangi = LP. Film ini telah bertengger di hampir semua bioskop di negeri ini hampir lebih dari satu bulan (starting 25 Sept). Rekor yang mengagumkan setelah Ayat-ayat Cinta = AAC. Bahkan beberapa pengamat memprediksi LP bisa mengalahkan kepopuleran AAC.
Film yang diadopsi dari novel laris besutan novelist Andrea Hirata dengan judul yang sama menceritakan petualangan hidup keseharian seorang anak Desa Gentong di Pulau Belitong (baca: Belitung) bersama ke-9 temannya dan ke-3 guru mereka berjuang mempertahankan kelangsungan sekolah mereka dari penutupan dikarenakan kurangnya jumlah siswa dari jumlah minimal yang ditetapkan oleh Dinas P&K.
Pesan yang mendalam
Tidaklah patut bagi saya untuk membahas isi film atau novel LP, dikarenakan sudah banyak sekali situs yang membahasnya dan juga di official site LP dapat dilihat sinopsinya. Namun saya hanya memberikan ulasan tentang beberapa pesan yang disampaikan dalam film ini.
1. Apabila kita berasal dari keluarga dengan ekonomi bawah di perkotaan atau di daerah terpencil dengan segala kekurangan janganlah takut untuk mempunyai cita-cita. “Gantungkan lah cita-citamu setinggi langit” seperti yang di katakan Lintang dewasa ke anak perempuannya. Jangan pernah putus asa karena dimana ada kemauan di situ ada jalan. Dengan doa dan usaha keras semua cita-cita pasti tercapai, dan jalan yang harus ditempuh untuk penggapai cita-cita diawali dari sekolah dan pengenyam pendidikan. Sebagai bukti seorang anak desa terpencil seperti Ikal (Andrea Hirata) dapat duduk sejajar dengan bangsa lain dengan bersekolah di Negeri Perancis.
2. Apabila kita berasal dari keluarga mampu dimana orang tua memberikan kesempatan sepenuh-penuhnya dengan segala fasiltas, bersekolah di sekolah favorit, buku-buku, pakaian sekolah, uang jajan, kendaraan, dll, janganlah sia-siakan kesempatan ini, karena kesempatan ini hanya datang satu kali dan tidak dapat diulang lagi. Sadarlah bahwa masih banyak anak-anak pintar di luar sana namun tidak mempunyai peluang untuk menerus pendidikan karena keterbatasan ekonomi. Bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan.
3. Saya sangat terkesan pembicaraan antara Pak Harfan (Ikranegara) dan Pak Zulkarnaen (Slamet Raharjo) bahwa Pendidikan itu seharus dilakukan dengan pendekatan budi pekerti dan ahlaq bukan dengan pendekatan materi. Kepintaran bukan diukur dari angka-angka tapi diukur dengan hati nurani. Dengan semakin komersialisasinya pendidikan saat ini agaknya pesan ini sangat mengena bagi pelaku pendidikan dan pengambil keputusan untuk memasukan kurikulum agama dan budi pekerti sebagai kurikulum utama bukan sebagai kurikulum tambahan (baca:pelengkap). Bukan hanya matematika, fisika, biologi dan Bahasa Inggris yang penting namun nilai-nilai moral dan budi pekerti jauh lebih penting. Itulah kenapa sekarang bangsa kita mengalami krisis moral yang begitu serius. Banyak sekali orang pintar yang berpendidikan tinggi dan menjabat posisi tinggi namun budi pekerti nol besar, menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri dan kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.
3.Bagi pendidik/guru jangan lah berputus asa, walau dengan keterbatasan gaji dan fasilitas namun tidak ada kebanggaan yang paling berharga dari seorang guru bila melihat anak didiknya berhasil. Yakinlah walau imbalan secara materi tidak seberapa namun pahala Sodakoh Jariah yang akan selalu mengalir walaupun si guru telah lama meninggal. Ini juga menjadikan pesan bagi pemerintah untuk dapat lebih memperhatikan ribuan nasib guru-guru di daerah terpencil ataupun di daerah perkotaan yang mengajar di lingkungan miskin. Karena nasib kelangsungan dari negara ini ditentukan oleh tangan pendidik saat ini. Apabila pendidiknya buruk bagaimana dengan kualitas generasi kita selanjutnya?
4. Setiap anak mempunyai potensi yang berbeda, seperti Ikal yang puitis dengan ketertarikan dibidang sastra, Lintang si anak jenius didikan alam yang pintar Matematika, Mahar si penyanyi yang menyenangi seni, Kucai yang bertendensi sebagai seorang pemimpin, dan Harun seorang anak terbelakang mental namun ada berjuta potensi di dalam dirinya. Seperti halnya pelangi yang berwarna warni namun justru perpaduan warna-warna itu yang membuat pelangi semakin indah. Janganlah menyamaratakan kemampuan anak, janganlah menilai kepintaran seorang anak dari nilai matematikanya 100 atau Bahasa Inggrisnya 90. Adalah kewajiban orang tua dan pendidikan yang harus memahami potensi anak sekaligus memberikan bimbingan dan kesempatan sehingga mereka dapat menggapai cita-cita mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar